Mengapa Manusia Ada?

Ada beragam pandangan tentang mengapa manusia ada dan terlahir ke bumi.  Pandangan yang berlatar relijius pada umumnya mengkaitkan keberadaan manusia dengan keberadaan Tuhan yang dipersepsi sebagai satu sosok/persona.  Pada konteks ini, muncullah bahasa: Manusia dicipta oleh Tuhan – atau – Tuhan mencipta manusia.  Lalu mulai muncul pertanyaan, “Mengapa Tuhan mencipta manusia, atau mengapa manusia dicipta oleh Tuhan?”  Selanjutnya, muncullah ungkapan-ungkapan semacam, “Manusia dicipta untuk menyembah dan berbakti kepada Tuhan”, “Manusia dicipta karena Tuhan butuh dikenali”, dan seterusnya.  Sebagian manusia menerima penjelasan ini tanpa penyangkalan apapun, semua dipercaya sebagai kebenaran karena ia dimunculkan oleh pribadi-pribadi yang memiliki otoritas dalam struktur keagamaan dan dianggap merepresentasikan kebenaran dari Tuhan sendiri.  Namun pada saat yang sama selalu ada orang-orang yang memilih bernalar merdeka.  Sebagian yang bernalar merdeka ini memilih menjadi “atheis” dengan menyangkal keberadaan sosok Tuhan sehingga pernyataan bahwa manusia dicipta oleh Tuhan juga otomatis dibantah.   Sebagian lagi memilih menjadi “spiritualis” – mereka mengerti Tuhan bukan sebagai satu sosok tetapi sebagai keberadaan yang meliputi segalanya sekaligus menjadi sumber dari segala yang ada, dan dari situ menyatakan manusia sebagai pengejawantahan atau manifestasi dari Tuhan.  

            Mari kita menyelami issue ini secara lebih mendalam, dengan membergunakan baik nalar/logika maupun rasa sejati.  Begini, kita mulai dengan coba mengerti apa arti kata mencipta bagi manusia.  Jika dikaitkan dengan keberadaan manusia sendiri, manusia memang punya kuasa untuk mencipta atau menjadikan sesuatu yang bisa dianggap baru.  Nah, saat manusia mencipta atau menjadikan sesuatu, ada dua fakta yang muncul.  Pertama, manusia menciptakan sesuatu yang dia butuhkan, atau dibutuhkan oleh satu komunitas/peradaban baik dnegan motif sosial atau ekonomis.  Contoh, manusia membuat laptop.  Laptop dibuat karena manusia membutuhkan alat bantu untuk meningkatkan kinerja maupun untuk menghibur diri.  Kedua, antara yang mencipta dan yang dicipta, antara yang membuat dan dibuat, pasti terpisah.  Meski tentu saja, gagasan sang pencipta/pembuat ada pada barang/benda yang dicipta/dibuat.  Contohnya ya antara manusia dan lapop yang dibuatnya pasti terpisah, karena masing-masing punya batasan ruang dan waktu sendiri.  Tubuh manusia dan benda yang dibuat bisa terpisah jarak mulai dari ukuran sekian milimeter hingga ribuan kilometer.

            Sehingga, pertama, diasumsikan Tuhan mencipta manusia karena kebutuhan tertentu seperti agar “agar Tuhan disembah manusia” atau “agar Tuhan dikenali manusia”.  Kedua, diasumsikan antara Tuhan dan manusia sebagai ciptaannya itu terpisah.  Tuhan dibayangkan ada di kejauhan sana sedang mengamati manusia yang Ia telah ciptakan, bersiap memberi hukuman dan hadiah kepada manusia sesuai tindakan mereka.    

            Secara nalar/logika, pandangan di atas justru bisa ditemukan kelemahannya.  Faktanya, saat berbicara Tuhan, selalu dinyatakan bahwa Tuhan adalah keberadaan yang tanpa batas, tidak membutuhkan apapun.  Nah, pernyataan-pernyataan di atas justru mengindikasikan keberadaan Tuhan yang membutuhkan sesuatu dan terbatasi ruang waktu.   Ini justru membatalkan premis sebelumnya bahwa Tuhan sejatinya tanpa batas dan tidak membutuhkan apapun termasuk pengenalan dan penyembahan.   Kontradiksi inilah yang kita perlu lampaui.  Kita membutuhkan pengertian baru yang lebih akurat mengenai keterkaitan antara Tuhan dan manusia.

            Perenungan mendalam yang memadukan antara nalar/logika dan rasa sejati, niscaya membawa kita pada pencerahan tentang perkara ini.  Pertama, sadarilah bahwa sejatinya Tuhan adalah keberadaan yang menjadi sumber segala yang ada dan meliputi segala yang ada.  Ia adalah realitas tanpa batas: tak ada batasan dalam bentuk apapun, meliputi seluruh ruang dan waktu.  Sejatinya Tuhan adalah kekosongan absolut, karena hanya kekosongan yang tanpa batas, dan bahwa memang segala yang ada muncul dari kekosongan.  Keksongan absolut inilah yang dalam bahasa Jawa dijuluki Suwung.  Suwung hamengku ana.  Suwung sayektine sangkan paraning dumadi.  Kekosongan memangku segala yang ada.  Keksonganlah sejatinya asal muasal keberadaan.  Nah, kita perlu memahami terjadinya manusia sebagaimana kita memahami kejadian jagad raya dan segala yang ada di jagad raya ini.  

            Dari kekosongan absolut, selalu memancar energi yang dalam bahasa sains disebut dark energy.  Inilah energi yang bertanggung jawab pada terjadinya ekspansi jagad raya.  Dari dark energy inilah selalu terbentuk benih-benih materi yang dalam bahasa sains disebut string yang pada tahap selanjutnya bermutasi menjadi materi yang lebih kompleks dan mulai bisa dicerap oleh panca indera.  Di dalam benih materi, juga dalam setiap materi, maka selalu ada keberadaan yang menjadi sumbernya.  Maka dinyatakan pula bahwa sejatinya Suwung itu menjadi esensi dari segala yang ada dan meliputi segala yang ada.  Jadi, sesungguhnya yang terjadi adalah proses pemanifestasian atau pengejawantahan terus menerus oleh Sang Suwung atau Kekosongan Absolut ini menjadi bentuk-bentuk yang terbatasi ruang dan waktu, dalam beragam rupa, bentuk dan tingkat kompleksitas.  Manusia adalah bagian dari keberadaan yang muncul dari gerak spontan dark energy yang terus menerus mengadakan segala sesuatu.  Jadi, kemunculan manusia adalah konsekuensi logis dari karakter Sang Suwung yang selalu memunculkan sesuatu yang baru, yang secara sederhana bisa dipahami sebagai perubahan terus menerus dari energi menjadi materi dan sebaliknya. 

            Menimbang realitas di atas, maka kita perlu menjauhkan kata motif atau kebutuhan dari proses kejadian manusia.  Sejatinya Tuhan adalah realitas yang tanpa motif dan kebutuhan dalam proses kejadian jagad raya beserta segala isinya.  Yang ada hanyalah proses pemancararan energi terus menerus, perubahan dari energi menjadi materi terus menerus, dan juga transformasi materi terus menerus menjadi materi yang lebih kompleks hingga menjadi energi kembali.  Inilah siklus yang terus berlangsung.  Ringkasnya, manusia ada karena demikianlah gerak alami dari jagad raya, bukan karena ada satu sosok Tuhan yang ingin begini dan begitu.  Jadi sebenarnya, pertanyaan mengapa manusia ada atau dicipta itu kurang relevan karena itu memproyeksikan proses penciptaan benda-benda oleh manusia yang didasari motif dan kebutuhan tertentu.

Dan berikutnya, perlu juga dimengerti bahwa antara Tuhan dan manusia tidak pernah terpisah.  Tuhan selalu bersama manusia sebagai esensi dan keberadaan yang meliputi manusia.  Karena pada kenyataannya Tuhan sebagai kekosongan absolut memang tak pernah terpisahkan dari segala yang ada di jagad raya ini mulai dari amuba hingga satu galaksi besar.  Tuhan menjadi esensi dari semuanya dan keberadaan yang meliputi semuanya.  Pada titik ini, lampauilah gagasan tentang Tuhan yang ada di kejauhan, di singasanaNya, mengawasi manusia dan siap dengan hukuman dan hadiah bagi manusia.  Mengertilah manusia sebagai salah satu keberadaan di jagad raya yang telah mengada lewat gerak semesta yang serba spontan, dan setelah mengada dimulailah proses evolusi manusia menuju kesempurnaan.

Kehidupan di bumi adalah bagian dari proses evolusi ini.  Dan yang perlu lebih disadari adalah bahwa alur evolusi melalui kehidupan di bumi, manusia terikat dalam lingkaran suka dan duka.  Manusia yang telah hidup di bumi pada umumnya bisa merasakan kesenangan tetapi tak pernah langgeng. Dan tak sedikit yang kemudian terjebak dalam problematika kehidupan yang mendatangkan penderitaan. Maka, pertanyaan yang lebih penting untuk kita jawab adalah, bagaimana kita sebagaimana manusia bisa keluar dari lingkaran kesenangan yang tidak kekal dan lepas jebakan penderitaan?  

Selanjutnya, kita bahas kembali tentang makna penting menjadi manusia di Bumi.  Bisa dikatakan bahwa menjadi manusia adalah satu pencapaian tahap evolusi yang terbilang tinggi.  Dengan menjadi manusia kita berpeluang untuk merealisasikan karakter ketuhanan secara utuh.  Sebenarnya, di dalam seonggok batu, satu pohon dan seekor tikuspun karakter ketuhanan ini ada.  Tetapi tingkat evolusi mereka tidak memungkinkan karakter ketuhanan ini terealisasi secara utuh.  Dengan menjadi manusia, kesempurnaan evolusi bisa terjadi.  Jiwa manusia bisa berada dalam kesadaran kemenyatuan yang utuh dengan Sumber Segala Keberadaan.  Inilah kondisi saat manusia merealisasikan kesadaran murni dan kebijaksanaan tertinggi. Pikiran dan tindakan manusia mencerminkan kehendak dan kuasa Tuhan yang bermuara pada hamemayu hayuning bawana: memperindah jagad yang sejatinya telah indah.   Maka, yang perlu kita jawab bersama adalah, bagaimana kita mencapai tataran ini?

Dua pertanyaan inilah yang menggerakkan munculnya berbagai tradisi spiritual.  Dalam buku ini, penulis berupaya menjawabnya secara utuh berangkat dari pengalaman pribadi.

Selengkapnya dapat dibaca pada Buku Suwung The Science of Truth mahakarya Setyo Hajar Dewantoro.

Share:

You may also like