Kematian jelaslah bukan momen “manusia dipanggil Tuhan”, ” kembali kepada Tuhan”, bukan juga momen “manusia pergi ke sisi-Nya”.
Saat membuat tulisan ini jelas saya belum mati; karena tulisan seperti ini hanya bisa dibuat oleh manusia yang masih hidup dengan badan fisiknya. Anda yang sedang membaca tulisan ini juga jelas belum mati; tidak ada orang mati yang masih bisa membaca buku. Tapi kita sama-sama tahu bahwa banyak penghuni Bumi yang telah mati, dan sebagian dari mereka kita kenal cukup baik. Bagi yang membaca realitas dengan Rasa Sejatinya, tentu bisa menyingkap misteri kematian. Meski masih hidup dengan badan fisik, siapa pun yang telah bisa mendayagunakan Rasa Sejatinya dimungkinkan mengungkap apa yang terjadi pada momen kematian, apa yang dialami sang jiwa dengan tubuh halusnya setelah berpisah dengan tubuh fisiknya.
Justru yang bisa menyingkap misteri kematian adalah orang yang masih hidup. Mereka yang telah mati jelas tak akan balik lagi untuk bercerita apa yang dialami dengan badan fisik yang sama. Jadi tidak perlulah gara-gara Anda tak pernah bertemu dengan orang mati yang hidup kembali, lalu secara serampangan langsung menolak semua cerita tentang kematian. Netral sajalah, pelajari semua argumen dengan pikiran yang tenang, lalu beri kesempatan pada diri Anda untuk membuktikan kebenarannya lewat pengalaman otentik.
Dulu saya juga bertanya-tanya soal kematian. Dengan pancaindra dan otak semata saya tetap tak tahu apa-apa tentang kematian. Pendekatan rasional empirik tak bisa melampaui tabir antara dunia materi dan immateri. Dulu saya juga pernah asal percaya pada cerita yang menurut penceritanya merupakan informasi dari Tuhan. Tapi lama-lama saya juga pertanyakan, “Benarkah seperti itu?” “Kok gak masuk nalar saya?” “Kenapa satu premis dan premis lainnya bisa bertolak belakang?”
Saat perjalanan spiritual saya semakin jauh, saat otak saya mulai terhubung dengan Rasa Sejati tanpa ada lagi tabir penghalang, saya jadi tahu banyak tentang kematian. Demikianlah pokok-pokok dari kesadaran saya akan kematian:
- Mati itu momen berhentinya aliran biolistrik dalam tubuh, karena dua sebab (a) sumber alami dari biolustrik seperti udara tidak bisa lagi diakses tubuh; (b) rusak parahnya generator biolistrik di dalam tubuh, plus tidak berfungsinya organ-organ vital yang terkait dengan produksi ATP (adenosine triphosphate) dalam tubuh. Tubuh yang tak lagi dialiri biolistrik pastilah memulai penguraian ikatan antar sel – sering disebut juga sebagai pembusukan. Tubuh yang tak lagi dialiri biolistrik pasti ditinggalkan oleh jiwa yang berbungkus tubuh halus, dan tali energi penghubung antara tubuh halus dan tubuh kasar benar-benar putus.
- Tak peduli bagaimana kondisi tubuh fisik yang ditinggalkan, bagaimana juga cara penanganannya, entah dikubur, dibakar, atau cara lainnya, sang jiwa dengan tubuh halusnya tetap menghadapi matematika Semesta yang sama. Sang jiwa menuai nasib sesuai dengan data kesadaran yang terekam di tubuh halusnya.
- Kematian jelaslah bukan momen “manusia dipanggil Tuhan”, ” kembali kepada Tuhan”, bukan juga momen “manusia pergi ke sisi-Nya”. Memang kapan manusia terpisah dengan Tuhan? Tidak pernah! Memang Tuhan ada di mana? Tuhan selalu menjadi esensi dari manusia, keberadaan-Nya selalu meliputi manusia. Kematian hanyalah proses perpindahan jiwa manusia ke dimensi yang berbeda. Setelah kematian, jiwa yang selalu menyatu dengan esensi atau Diri Sejatinya, dengan tubuh halusnya, pergi ke dimensi yang sesuai dengan tingkat kesadarannya. Jadi pilihannya secara sederhana ada tiga: (a) Terjebak di dimensi rendah termasuk jadi arwah gentayangan; (b) masuk ke alam penantian dan menunggu momen reinkarnasi; (c) naik ke dimensi tinggi.
- Nasib manusia setelah kematian sepenuhnya tergantung pada tingkat kemurnian jiwa dan akumulasi perbuatannya di detik kematian. Manusia yang berhasil menuntaskan 5 faktor pengeruh jiwa otomatis naik ke dimensi tinggi. Mereka yang masih punya pekerjaan rumah dalam penuntasan sisi gelap otomatis harus bersiap reinkarnasi; jika terlalu banyak angkara murka apalagi berkolaborasi dengan makhluk alam bawah ya pastilah menderita di “penjara dimensi bawah”. Ada juga jiwa yang terjebak jadi ” arwah gentayangan” karena membawa luka batin, kemelekatan, dan segala hal yang terbilang manusiawi hingga kematiannya.
Demikian yang saya saksikan dalam hening dengan Rasa Sejati. Bisa dibilang, saya bisa tahu bagaimana nasib jiwa manusia yang diumumkan telah meninggal dunia.
Mereka yang telah berhasil memurnikan jiwanya, nyata bisa menjemput kematian dengan penuh sukacita. Sebaliknya mereka yang penuh ilusi dan jiwanya tidak murni, kaget karena kematian tak seperti yang mereka bayangkan, tidak pula seperti yang diceritakan pada pendongeng religius.
Catatan, pada kondisi mati suri atau near death experience tetap bukan kematian, dan pengalaman mereka bisa subjektif tergantung data yang ada di subconscious mind.
Cuplikan buku Tetap Bahagia Meski Hidup Tidak Baik-Baik Saja, Art of Happiness Made in Indonesia