Refleksi Membaca Buku Neng Ning Nung Nang: Jalan Kembali Menuju Keheningan

Membaca buku Neng Ning Nung Nang, Filosofi Jawa Kuna Yang Menjawab Keresahan Manusia Modern karya Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro bagi saya adalah pengalaman yang sangat kompleks dan mendalam. Bila ditarik benang merahnya, inti pesan yang paling kuat terasa adalah pentingnya hening yang benar, kontinyu, dan dijalani sepanjang hayat—hening yang selalu terhubung dengan Gusti, Tuhan Yang Maha Esa, Diri Sejati, atau Guru Sejati yang bertakhta di relung hati terdalam, di setiap tarikan dan embusan napas.

Hening ini senantiasa dibarengi dengan rasa syukur dan terima kasih yang mendalam atas anugerah yang terus mengalir dari Sang Maha Hidup—limpahan kasih murni, kuasa tanpa batas, dan naungan dari Sang Maha Agung yang tak pernah terpisahkan dari diri kita.

Buku ini membuka begitu banyak dinamika perjalanan kehidupan penulis, yang ternyata juga saya alami dalam bentuk dan kadar yang berbeda. Ia menegaskan perlunya perubahan dari pola lama yang telah mendarah daging—pola pikir, memori, dan ilusi panjang yang tersimpan dalam neuron dan sinaps negatif, serta dogma dan doktrin yang harus diputus agar bisa melihat kebenaran sejati tentang kehidupan.

Kebenaran ini perlu diungkap agar manusia memahami dan mau menjalankan hening yang benar dengan tiga perangkat kecerdasan—otak, Rasa Sejati, dan pineal gland—sebagaimana dijelaskan penulis dengan sangat detail dan aplikatif.

Bagi saya, Neng Ning Nung Nang menjadi pelengkap dari karya-karya Mas Guru sebelumnya yang juga telah saya baca: Suwung, Tantra Yoga, Hening, dan Sabda Suci. Bersama dengan wedaran YouTube, webinar mingguan, dan podcast, buku ini semakin memperjelas pemahaman saya tentang realitas Tuhan, alam semesta, jiwa, awal mula kehidupan, serta kehidupan setelah kematian, surga, dan neraka—topik-topik mendalam yang sebelumnya tak pernah saya temukan penjelasan seterang ini.

Ketika saya memasuki pertengahan buku, rasanya seperti menyusun potongan puzzle kehidupan yang lama tercecer. Seakan memori yang hilang tersentuh kembali, menghadirkan keteduhan di tengah kegersangan jiwa. Saya merasa menemukan kembali arah jalan pulang yang selama ini saya cari.

Salah satu bagian yang paling menggugah bagi saya adalah cerita “Neraka Katut Swarga Nunut.” Selama ini saya sering mendengar jargon itu di ceramah keagamaan, namun setelah membaca penjelasan dalam buku ini, saya tersadar bahwa anggapan tersebut hanyalah ilusi—tameng untuk menutupi kelemahan diri. Mas Guru menegaskan bahwa siapa pun yang memiliki kesadaran lebih tinggi dan jiwa murni, baik suami maupun istri, dapat membantu dan memberkati pasangannya.

Buku ini mudah dipahami oleh siapa pun, bahkan bagi pemula, karena bersifat universal dan tidak terikat agama tertentu. Ia mengajarkan cara bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan dengan logika yang jernih dan akal yang sehat, sekaligus menghidupkan kembali ajaran luhur Nusantara tentang hubungan manusia dengan Gusti.

Dari semua yang saya renungkan, saya sampai pada pertanyaan penting bagi diri sendiri:

Apakah saya sungguh mau berubah, dengan ketulusan dan kesungguhan memperbaiki diri saat ini, juga ke depannya dalam menjalani keheningan dan pembelajaran di SKPM yang sudah sangat keren ini?
Apakah karya yang saya lakukan selama ini sudah menjadi karya terbaik, atau masih ditunggangi ego, kesombongan, iri, dan amarah?
Apakah saya sudah benar-benar mengasihi diri dan orang lain?

Buku ini menyentuh inti persoalan manusia modern yang sering kehilangan makna hidup. Ia mengingatkan bahwa perubahan sejati hanya mungkin terjadi bila kita berani berbenah, jujur melihat diri, dan konsisten menapaki jalan keheningan.

Terima kasih saya sampaikan kepada Mas Guru, Mbak Ay, teman-teman di SKPM, dan khususnya Mbak Virine atas hadiah buku berharga ini. Mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan.

Rahayu 🙏


Nono Kusno

Share:

You may also like