“Tanpa kasih dan kesadaran murni, cinta asmara akan jadi penyebab derita tiada akhir.”
Jika seks sering dinyatakan sebagai hasrat biologis yang memberi kenikmatan tertinggi, maka cinta asmara (romantic love) adalah emosi manusia yang paling kuat. Cinta bisa membawa manusia ke puncak rasa senang yang sering dianggap sebagai rasa surgawi, sebaliknya, ia juga bisa menghempaskan manusia ke jurang penderitaan. Perhatikanlah mereka yang sedang jatuh cinta atau dimabuk asmara, perhatikan pula mereka yang putus cinta atau kehilangan orang yang dicintai. Sebagian orang yang menjadi sangat traumatik dengan cinta, lalu bersepakat menyatakan, “Cinta itu membawa derita tiada akhir”, mereka yang jatuh cinta senangnya hanya sebentar di permulaan, lalu semua berganti dengan penderitaan yang tak usai-usai.
Ketika kemudian ikatan cinta diresmikan dalam institusi pernikahan, maka drama percintaan menjadi makin rumit. Mengapa? Karena siapa pun yang disahkan sebagai pasangan suami istri, mereka harus hidup bersama dalam beragam koridor aturan sosial yang sesungguhnya memenjarakan, tidak memerdekakan. Yang tahan menderita, akan terus menjadi suami istri hingga usia tua, hingga salah satu dari suami atau istri meninggal dunia. Yang tak tahan menderita, atau konflik atas nama cinta menjadi makin ekstrem, terjadilah perceraian yang membawa luka lebih dalam pada dua belah pihak.
Mengapa cinta membawa derita? Mengapa ada orang yang memilih menjadi budak cinta dan menjadi demikian bodoh menempatkan dirinya dalam penderitaan yang tiada akhir? Inilah yang hendak kita bahas di bab ini. Tentu saja, saya sangat pakar dalam perkara ini karena punya pengalaman panjang tentang cinta yang membawa derita, sekaligus punya cerita otentik bagaimana bisa keluar darinya.
Cinta membawa derita karena orang hanya mengerti dan menjalankan cinta yang egoistik.
“Tentu saja akarnya adalah kebiasaan berpikir secara liar, banyak prasangka, banyak berkhayal, penuh obsesi, yang berujung pada kemelekatan.”
Jadi orang sering menyatakan dirinya punya cinta sejati, tapi sebetulnya yang dia miliki itu cinta ilusif yang dibentuk dari prasangka dan harapan-harapan pribadi yang tidak realistik.
Cuplikan buku Tetap Bahagia Meski Hidup Tidak Baik-Baik Saja, Art of Happiness Made in Indonesia